PKB Desak Menteri Fadli Zon Ralat Pernyataan soal Perkosaan Massal Mei 1998: Menjaga Kebenaran Sejarah dan Martabat Korban

Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak tragedi Mei 1998 mengguncang Indonesia. Namun, luka dan trauma masih membekas dalam ingatan bangsa, terutama bagi para korban kekerasan seksual dalam kerusuhan yang melanda Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya. Saat bangsa ini berupaya menyembuhkan dan memperbaiki diri lewat pengakuan dan keadilan, sebuah pernyataan dari Menteri Kebudayaan dan Sejarah Fadli Zon menimbulkan gelombang kemarahan.
Dalam sebuah wawancara publik yang viral, Fadli Zon menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat mengenai kasus perkosaan massal yang terjadi pada etnis Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998. Ia menyebut sebagian besar informasi itu hanyalah “narasi politik” yang tidak dapat diverifikasi. Pernyataan ini langsung ditanggapi keras oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sejumlah tokoh masyarakat sipil.

Bab I: Kronologi Pernyataan Kontroversial Fadli Zon
A. Ucapan yang Menjadi Sorotan
Pernyataan tersebut disampaikan Fadli Zon dalam sebuah diskusi panel bertajuk “Refleksi Sejarah Indonesia Modern: Meluruskan Narasi” di Jakarta pada 12 Juni 2025. Dalam sesi tanya jawab, Fadli menjawab pertanyaan tentang peristiwa kerusuhan 1998:
“Sampai saat ini tidak ada bukti forensik, saksi yang bisa diverifikasi, atau laporan resmi dari institusi negara tentang perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Saya tidak ingin sejarah kita dicemari oleh fiksi politis.”
Pernyataan ini dengan cepat menyebar melalui media sosial dan kanal berita nasional, memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan.
B. Reaksi Publik Segera Meledak
Beberapa jam setelah pernyataan itu viral, organisasi HAM seperti KontraS, Komnas Perempuan, dan LBH Jakarta mengecam ucapan Fadli sebagai bentuk pengingkaran tragedi kemanusiaan. Hastag #FadliZonRalat segera menjadi trending di platform X (sebelumnya Twitter).
Bab II: Desakan PKB dan Tokoh Nasional
A. Sikap Tegas PKB
Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, dengan tegas menyatakan bahwa Fadli Zon harus meralat dan meminta maaf kepada publik, terutama kepada keluarga korban kekerasan seksual Mei 1998.
“Ini bukan soal politik, ini soal hati nurani. Sejarah kelam bangsa tidak boleh dipalsukan. Kalau kita menyangkal kebenaran ini, sama saja kita melukai luka korban untuk kedua kalinya,” ujar Cak Imin dalam konferensi pers 13 Juni 2025.
PKB juga mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi posisi Fadli Zon dalam kabinet, jika ia tidak segera mengoreksi ucapannya.
B. Dukungan dari Tokoh Lintas Partai
Selain PKB, sejumlah tokoh seperti Yenny Wahid, Mahfud MD, dan Ganjar Pranowo turut menyuarakan kecaman terhadap narasi penyangkalan sejarah ini.
Yenny Wahid, putri Gus Dur yang dikenal dekat dengan komunitas Tionghoa, menyebut pernyataan Fadli sebagai “kemunduran moral”.
Bab III: Tragedi Mei 1998 dan Fakta Sejarah
A. Apa yang Terjadi Mei 1998?
Kerusuhan sosial-politik pada 13–15 Mei 1998 bertepatan dengan puncak krisis ekonomi dan tuntutan mundurnya Presiden Soeharto. Ratusan toko dan rumah dibakar, ribuan orang tewas, dan ratusan perempuan—mayoritas keturunan Tionghoa—menjadi korban pemerkosaan massal dan kekerasan seksual.
B. Laporan dan Dokumentasi
Beberapa dokumen penting yang mencatat kekerasan ini antara lain:
- Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
- Dokumen Komnas Perempuan (1999)
- Arsip Human Rights Watch (1999)
- Testimoni korban di luar negeri, termasuk yang dilindungi oleh gereja dan NGO internasional
Semua laporan ini menyatakan bahwa kekerasan seksual memang terjadi secara sistematis dan menyasar kelompok tertentu.
Bab IV: Duka Korban dan Trauma Kolektif
A. Kesaksian yang Masih Hidup
Banyak korban kekerasan seksual 1998 kini hidup dalam diam dan trauma. Sebagian besar tidak pernah mendapatkan keadilan, bahkan tidak berani muncul ke publik karena takut stigma dan diskriminasi.
Salah satu penyintas, berinisial M, menceritakan kepada media asing:
“Setiap kali saya mendengar orang menyebut ‘tidak ada pemerkosaan’, saya seperti diperkosa ulang. Mereka ingin kami hilang dari sejarah.”
B. Tanggung Jawab Moral Negara
Penolakan terhadap tragedi ini sama saja dengan membunuh kembali martabat korban. Komnas Perempuan bahkan sudah beberapa kali meminta negara untuk secara resmi mengakui dan meminta maaf kepada para korban.
Bab V: Politik Ingatan dan Bahaya Distorsi Sejarah
A. Mengapa Sejarah Dipelintir?
Menurut akademisi sejarah Universitas Indonesia, Prof. Ariel Heryanto, pengingkaran sejarah seringkali terjadi karena upaya “rekonsiliasi instan” tanpa keadilan. Ada juga motif politis untuk melindungi figur tertentu dari era Orde Baru.
“Pernyataan seperti itu tidak hanya menyakiti korban, tetapi juga membuka ruang bagi ekstremisme dan kekerasan serupa terjadi lagi,” ujar Ariel.
B. Pelajaran dari Negara Lain
Afrika Selatan, Argentina, dan Jerman merupakan contoh negara yang berani menghadapi masa lalunya. Mereka mengakui tragedi, memberikan reparasi, dan memastikan peringatan publik agar sejarah tidak berulang.
Bab VI: Tanggapan Fadli Zon: Membela Diri atau Menyesal?
A. Respons Awal: Bertahan
Dalam konferensi pers terbatas pada 14 Juni 2025, Fadli Zon menyebut pernyataannya “disalahpahami” dan menegaskan bahwa ia tidak menolak fakta sejarah, hanya meminta “verifikasi ulang dokumen”.
Namun, pembelaan ini justru memancing lebih banyak kritik. Publik menyebutnya sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab.
B. Tekanan Politik Memuncak
Menyusul desakan dari PKB, para aktivis, dan akademisi, istana disebut sedang mempertimbangkan apakah posisi Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan dan Sejarah masih bisa dipertahankan. Spekulasi reshuffle kabinet mulai ramai dibicarakan.
Bab VII: Menjaga Kebenaran untuk Generasi Mendatang
A. Pentingnya Pelurusan Sejarah
Sejarah adalah fondasi moral dan kesadaran kolektif suatu bangsa. Jika narasi sejarah dibelokkan, bangsa akan kehilangan arah moralnya. Oleh karena itu, para tokoh pendidikan, sejarawan, dan lembaga kurikulum mendesak agar peristiwa Mei 1998, termasuk kekerasan seksual, diajarkan secara terbuka dan jujur di sekolah-sekolah.
B. Peran Media dan Masyarakat Sipil
Media memiliki peran penting untuk mengedukasi masyarakat dan menjaga agar narasi kebenaran tidak tergerus oleh opini-opini yang menyesatkan. Di sisi lain, masyarakat sipil perlu terus mengawal dan membela kebenaran sejarah.
Kesimpulan: Suara yang Tak Boleh Dibungkam
Desakan PKB agar Menteri Fadli Zon meralat pernyataannya bukan sekadar dinamika politik, tetapi suara moral untuk membela keadilan dan martabat korban. Pernyataan yang meragukan keberadaan kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 adalah bentuk kekerasan lanjutan—kekerasan terhadap kebenaran dan kemanusiaan.
Masyarakat Indonesia yang merindukan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus terus menjaga ingatan sejarah ini, agar bangsa ini benar-benar belajar dari masa lalunya, bukan menutupi atau memutarbalikkan.